Perang Shiffin: Latar Belakang Serta Peristiwa Tahkim

Perang Shiffin: Latar Belakang Serta Peristiwa Tahkim

Perang Shiffin adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Konflik ini tidak hanya berpengaruh besar terhadap perkembangan politik umat Islam saat itu, tetapi juga meninggalkan dampak yang panjang terhadap dinamika hubungan antar komunitas Muslim. 

Pada artikel kali ini Penulis akan mengajak kamu mengenal perang shiffin mulai dari latar belakang, jalannya pertempuran, dan dampak dari Perang Shiffin.

Latar Belakang Perang Shiffin: Konflik Internal yang Membara

Perang Shiffin (36-37 H / 657 M) adalah perang saudara pertama dalam Islam yang melibatkan dua kubu besar: Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat dan menantu Nabi Muhammad SAW, melawan Muawiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Syam. 

Baca Juga: Muawiyah bin Abu Sufyan: Pemimpin Kontroversial dalam Sejarah Islam

Perang ini bukan sekadar perebutan kekuasaan, Sobat. Latar belakang atau akar permasalahannya jauh lebih dalam, yaitu perbedaan pandangan tentang bagaimana seharusnya keadilan ditegakkan atas pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan. 

Ali, yang baru saja diangkat menjadi khalifah, dihadapkan pada tuntutan untuk segera menghukum para pembunuh Utsman.  Namun, Ali memilih untuk memprioritaskan stabilitas negara yang saat itu sedang bergejolak. Ia berpendapat bahwa  menghukum pelaku tanpa proses pengadilan yang adil justru akan memperkeruh suasana. 

Di sisi lain, Muawiyah, sepupu Utsman, menuntut keadilan atas kematian saudaranya. Ia menilai lambannya tindakan Ali sebagai bentuk pembiaran, bahkan dianggap melindungi para pembunuh.  Muawiyah pun menolak untuk mengakui  kepemimpinan Ali sebagai khalifah. 

Menuju Pelaga Shiffin:  Perang Tak Terelakkan

Ketegangan memuncak ketika  pasukan Ali dan Muawiyah bertemu di sebuah tempat bernama Shiffin, dekat Sungai Eufrat.  Berbagai upaya damai telah dilakukan, namun  perbedaan pandangan yang begitu tajam membuat perang tak terelakkan. 

Pertempuran berlangsung selama berhari-hari.  Pasukan Ali yang gagah berani bertempur dengan penuh semangat, sementara pasukan Muawiyah yang terlatih  tak kalah gigih.  Kedua belah pihak sama-sama berjuang atas nama Islam,  namun ironisnya, pertumpahan darah justru terjadi di antara mereka.

Baca Juga: Siapakah Nama Paman Nabi Muhammad?

Taktik Licik:  Al-Qur'an di Ujung Tombak

Di tengah pertempuran sengit, pasukan Muawiyah yang mulai terdesak  melakukan taktik licik. Mereka mengangkat mushaf-mushaf Al-Qur'an di ujung tombak mereka sebagai tanda ajakan gencatan senjata dan penyelesaian konflik melalui arbitrase atau tahkim. 

Taktik ini berhasil menggoyahkan barisan pasukan Ali. Sebagian besar pasukan mendesak Ali untuk menerima tahkim, sementara sebagian lainnya tetap setia untuk melanjutkan pertempuran. Ali, yang dikenal sebagai pribadi yang sangat menjunjung tinggi Al-Qur'an, akhirnya menerima tahkim dengan berat hati.

Tahkim: Jalan Buntu Menuju Perpecahan

Kedua belah pihak sepakat untuk memilih seorang hakim sebagai wakil mereka dalam tahkim. Ali menunjuk Abu Musa al-Asy'ari, seorang sahabat senior yang dihormati, sementara Muawiyah menunjuk Amr bin Ash, seorang politikus ulung dan ahli strategi.

Dalam perundingan tahkim, masing-masing pihak mengajukan tuntutannya. Kubu Ali menuntut agar Muawiyah mengakui Ali sebagai khalifah yang sah dan menghukum para pemberontak yang mendukungnya. Sementara itu, kubu Muawiyah menuntut agar Ali diadili atas tuduhan terlibat dalam pembunuhan Utsman dan menyerahkan jabatan khalifah.

Baca Juga: Mengenal Abu Musa Al-Asy'ari: Sahabat Nabi yang Bijaksana dan Ahli Hadits

Namun, proses tahkim berjalan alot dan penuh intrik. Amr bin Ash, dengan kelihaiannya, berhasil membujuk Abu Musa untuk membuat keputusan yang merugikan Ali. Ia membisikkan rencana untuk bersama-sama menjatuhkan Ali dan Muawiyah dari jabatan mereka, dengan harapan akan terpilih seorang khalifah baru yang lebih netral. 

Abu Musa yang lugu menyetujui rencana tersebut. Di hadapan publik, ia mengumumkan  pemberhentian Ali dan Muawiyah dari jabatan mereka. Namun, Amr bin Ash dengan licik justru melanggar kesepakatan. Ia menyatakan bahwa Muawiyah berhak untuk tetap menjabat sebagai Gubernur Syam.

Keputusan tahkim ini membuat Ali dan para pendukungnya murka. Mereka merasa dikhianati oleh Abu Musa dan diperdaya oleh Amr bin Ash.Tahkim yang diharapkan dapat mendamaikan justru semakin memperkeruh suasana dan menimbulkan perpecahan baru di tubuh umat Islam.

Akhir yang Pahit: Perpecahan dan Kemunculan Khawarij

Keputusan Ali menerima tahkim ternyata berujung pahit. Hasil tahkim yang dianggap merugikan Ali  menimbulkan perpecahan baru di tubuh umat Islam. Sebagian pasukan Ali yang kecewa memisahkan diri dan membentuk kelompok baru yang dikenal dengan nama Khawarij.

Perang Shiffin pun berakhir tanpa pemenang yang sejati. Umat Islam terpecah belah, persaudaraan yang telah dibangun dengan susah payah runtuh, dan luka mendalam tergores di hati setiap muslim.

Hikmah dari Perang Shiffin

Perang Shiffin adalah sebuah pelajaran berharga bagi kita semua.  Perang ini mengajarkan kita tentang pentingnya persatuan, bahaya fanatisme buta, dan konsekuensi dari perpecahan. 

Sebagai seorang muslim, kita harus senantiasa mengedepankan persaudaraan dan persatuan. Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar, namun jangan sampai perbedaan itu menghancurkan ukhuwah Islamiyah.

Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari peristiwa Perang Shiffin dan berusaha untuk menjadi muslim yang lebih baik, yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dan berkontribusi positif bagi perdamaian dunia.

Baca Juga: Mengenal Amr Bin Ash: Sang Panglima Perang Penakluk Mesir

Penutup

Demikianlah pembahasan tentang perang shiffin yang bisa penulis bagikan. Semoga apa yang sudah Penulis sampaikan bisa menambah wawasan kamu terkait sejarah kebudayaan islam. Sekian semoga bermanfaat.
Musbat Goasudin
Musbat Goasudin Mantan santri, insyaAllah suka ngaji dan berbagi

Posting Komentar untuk "Perang Shiffin: Latar Belakang Serta Peristiwa Tahkim"